Kamis, 19 Agustus 2010
Sabtu, 14 Agustus 2010
Selasa, 13 Juli 2010
Sabtu, 10 Juli 2010
Water Boat
Lihat aksi anakku yang satu ini,waaaah....berani dan gaya kali aksinya. Ini acara lagi mengisi liburan panjang sekolah,karena kalau sudah mulai masuk sekolah jangankan untuk liburan,jalan2 sudah nga bisa lagi jadi harus di puas-puasin liburannya.
MY Hobby
Aku dan anakku sangat suka sekali yg namanya berenang,pokoknya hampir setiap minggu kami menghabiskan waktu berenang.Olah raga ini banyak banget maanfaatnya menghilangkan kejenuhan,menghilangkan stress,yang utama menurunkan berat badan. kalau sehabis berenang kayanya badan,fikiran menjadi Fress lagi seger....seger.....
Kamis, 08 Juli 2010
Rumor dan Hikmah
Sambil menunggu bis kampus datang, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, iseng-iseng berbincang dengan seorang pengemis tua yang sejak lama selalu nongkrong di halte bis UI.
“Sudah lama ngemis di sini, Pak?”
“Ya … lebih kurang sudah 10 tahun, Nak.”
“Wah lama juga ya, biasanya dapat berapa sehari, Pak?”
“Paling sedikit Rp 30.000, kadang bisa 50.000, kalau jumatan bisa dapat 100.000."
"Lumayan juga ya Pak!"
“Ya lumayan, buat kasih makan keluarga dan membesarkan anak-anak."
"Anak-anak sudah besar ya Pak?"
"Anak saya sudah besar semua, satu di UNJ Rawamangun, satu di IPB Bogor, yang paling tua di ITB Bandung. Semuanya di universitas negeri."
Mahasiswa itu begitu salut dengan sang pengemis, awalnya ia anggap remeh pengemis tua ini.
“Wah, hebat sekali ya, Bapak. Semua anaknya kuliah di universitas negeri"
“Oh ndak gitu, Nak. Anak saya semuanya mengemis, sama seperti saya. Memang keluarga kita pengalamannya mengemis di universitas negeri!"
Gubrak!!!!?????
Humor dan hikmah
Tahukah Anda? Di India, keluarga pengemis kadang sengaja mencacatkan anaknya agar bisa mendapat penghasilan lebih dari mengemis, karena pengemis cacat mendapat uang lebih banyak.
Kenapa ini terjadi?
Cita-cita rendah menular, pesimisme juga menular dan yang lebih berbahaya jika ini menular dari orang tua ke anaknya.
Menjadi miskin bukan masalah, menjadi orang tua miskin juga bukan masalah sepanjang kita tidak mempunyai mental miskin.
Di dalam buku No Excuse! kita bisa lihat kisah Laksmi Mital.
Anak miskin dari keluarga miskin di yang miskinIndia.
Ayanya memberi nama Laksmi (dewa kekayaan) pada anaknya, menunjukkan sang ayah sudah punya mental untuk berubah, ia ingin anaknya kaya.
Lalu sang ayah pindah ke kota membawa Laksmi agar nasib mereka berubah, dan sang ayah mewanti-wanti Laksmi untuk bersungguh-suingguh belajar, karena ia tidak ingin Laksmi Mittal menjadi orang tertinggal.
Tahukan Anda menjadi apa Laksmi di masa depan?
Laksmi Mittal kini menjadi orang terkaya di Asia, terkaya di London melebih ratu Inggris dan masuk dalam 10 besar orang terkaya di dunia.
Kesimpulannya, seburuk-buruknya kemiskinan adalah ketika kita mempunyai mental miskin dan menerima kemiskinan sebagai takdir yang tidak bisa dirubah, bukan sebagai nasib yang bisa dirubah.
Jadi seberapa miskinnya kita, seberapa kecilnya penghasilan kita saat ini, seberapa susahnya hidup ini, sepanjang kita punya mental sukses, kita punya harapan besar.
“Sudah lama ngemis di sini, Pak?”
“Ya … lebih kurang sudah 10 tahun, Nak.”
“Wah lama juga ya, biasanya dapat berapa sehari, Pak?”
“Paling sedikit Rp 30.000, kadang bisa 50.000, kalau jumatan bisa dapat 100.000."
"Lumayan juga ya Pak!"
“Ya lumayan, buat kasih makan keluarga dan membesarkan anak-anak."
"Anak-anak sudah besar ya Pak?"
"Anak saya sudah besar semua, satu di UNJ Rawamangun, satu di IPB Bogor, yang paling tua di ITB Bandung. Semuanya di universitas negeri."
Mahasiswa itu begitu salut dengan sang pengemis, awalnya ia anggap remeh pengemis tua ini.
“Wah, hebat sekali ya, Bapak. Semua anaknya kuliah di universitas negeri"
“Oh ndak gitu, Nak. Anak saya semuanya mengemis, sama seperti saya. Memang keluarga kita pengalamannya mengemis di universitas negeri!"
Gubrak!!!!?????
Humor dan hikmah
Tahukah Anda? Di India, keluarga pengemis kadang sengaja mencacatkan anaknya agar bisa mendapat penghasilan lebih dari mengemis, karena pengemis cacat mendapat uang lebih banyak.
Kenapa ini terjadi?
Cita-cita rendah menular, pesimisme juga menular dan yang lebih berbahaya jika ini menular dari orang tua ke anaknya.
Menjadi miskin bukan masalah, menjadi orang tua miskin juga bukan masalah sepanjang kita tidak mempunyai mental miskin.
Di dalam buku No Excuse! kita bisa lihat kisah Laksmi Mital.
Anak miskin dari keluarga miskin di yang miskinIndia.
Ayanya memberi nama Laksmi (dewa kekayaan) pada anaknya, menunjukkan sang ayah sudah punya mental untuk berubah, ia ingin anaknya kaya.
Lalu sang ayah pindah ke kota membawa Laksmi agar nasib mereka berubah, dan sang ayah mewanti-wanti Laksmi untuk bersungguh-suingguh belajar, karena ia tidak ingin Laksmi Mittal menjadi orang tertinggal.
Tahukan Anda menjadi apa Laksmi di masa depan?
Laksmi Mittal kini menjadi orang terkaya di Asia, terkaya di London melebih ratu Inggris dan masuk dalam 10 besar orang terkaya di dunia.
Kesimpulannya, seburuk-buruknya kemiskinan adalah ketika kita mempunyai mental miskin dan menerima kemiskinan sebagai takdir yang tidak bisa dirubah, bukan sebagai nasib yang bisa dirubah.
Jadi seberapa miskinnya kita, seberapa kecilnya penghasilan kita saat ini, seberapa susahnya hidup ini, sepanjang kita punya mental sukses, kita punya harapan besar.
Rabu, 07 Juli 2010
Sabtu, 26 Juni 2010
Aku dan kaka nabiilah
Ini aku dan anak pertamaku Nabiilah Mujahidah saat kenaikkan kelas.Alhamdulillah kaka nabiilah masih mempertahankan juara 1 alazhar dan juara 1 Depag,serta meraih penghargaan sebagai juara umum siswa berprestasi.Sebagai ibu alangkah bahagia dan bangganya aku mendampinginya.Ya Allah syukurku atas apa yang telah engkau berikan bagi ke 2 anakku,karunia Mu,Hidayah Mu serta Rizky yang telah Engkau berikan pada kami.
Kaka Nabiilah & Ustz.Syarifah
Tgl 26 Juni 2010 adalah hari yang sangat luar biasa,kaka nabiilah mendapatkan penghargaan sebagai siswa berprestasi 2010 di Al azhar.Sungguh hari ini anakku membuat aku terharu yg begitu sangat,tidak ada yang dapat aku katakan selain lagi-lagi rasa syukur yg begitu dalam atas karunia yg Allah berikan buat aku dan ke dua anak-anakku.
Kamis, 24 Juni 2010
Jumat, 18 Juni 2010
Kaka Nabiilah Mujahidah juara 1 lomba kaligrafi di TMII
Ini anakku yang pertama namanya Nabiilah Mujahidah.Saat ini berusia 10 tahun dia kelas 5 SD Al-azhar Asy syarif Indonesia.Aku membesarkan ke 2 anakku dengan tanganku sendiri artinya tidak ada campur tangan orang lain apalagi yg namanya pembantu. Aku sangat bangga kepada ke 2 anakku,terutama Nabiilah. Karena dari umur 3 tahun dia punya bakat melukis yang luar bisa.Di usia yg 4 tahun dia sudah mulai menjuarai lomba-lomba mewarnai,ketika usia 7 tahun mulai menjuarai lomba melukis,hingga saat ini piala yg di perolehnya hampir mencapai 100.Bukan itu saja dia juga pernah menjuarai kompetisi matematika terbuka. Alhamdulillah di sekolah dia selalu mendapat peringkat terbaik juara 1 Al azhar dan juara 1 umum. Dia sangat suka membaca,olah raga dll. Aku selalu mendukung semua aktivitasnya. Apapun akan aku lakukan yg terbaik untuk ke 2 anak-anakku. Aku juga bersyukur karena Allah memberikan anugrah yg begitu berharga buatku Permata Hatiku,belahan jiwaku,dan ketegaranku.
Selasa, 15 Juni 2010
Bola Itu Bulat....!!
Saat ini hampir semua mata penggemar bola tertuju pada pagelaran akbar piala dunia. Seandainya saja kita melihat dari kaca mata motivasi dan pembelajaran diri, banyak sekali hal yang bisa kita dapat dari pagelaran akbar itu selain sekedar menonton bola.
Bola itu bulat! Segalanya bisa terjadi di sepak bola.
Ini adalah prinsip dasar yang banyak dipegang oleh hampir seluruh pelatih ataupun pemain sepakbola.
Mereka tahu dalam sepak bola banyak kejutan.
Banyak tim yang di atas kertas pasti menang tapi ternyata pulang duluan.
Seringkali tim yang diunggulkan tiba-tiba dikalahkan.
Tim yang diremehkan tiba-tiba muncul jadi pemenang.
Artinya dalam dunia bola semua mungkin terjadi, resiko kalah selalu mengancam, harapan selalu ada.
Seandainya saja kita bisa mengaplikasikan itu dalam kehidupan, mungkin kita akan jadi pemenang, setidaknya punya mental pemenang.
Kadang kita merasa kalau modal kita lebih besar kita akan menang persaingan, tapi kehidupan juga seperti sepak bola, yang modal kecil juga bisa menang.
Real Madrid yang beranggaran 420 juta Euro pertahun pernah dikalahkan oleh Alcorcon yang budgetnya 1,1 juat pertahun (Buku NO Excuse hlm 203).
Inggris yang berpengalaman hanya bisa imbang dengan Amerika di pertemuan pertama piala dunia 2010.
Ghana yang negara miskin bisa menggilas negera Eropa Serbia.
Jika kita percaya segala kemungkinan bisa terjadi maka kita tidak akan cepat puas, tidak akan menganggap enteng persaingan dan menyepelekan prestasi dalam kehidupan.
Kita tidak akan mudah sesumbar dan percaya diri tanpa persiapan.
Karena hidup juga seperti bola, jadi kita harus selalu siaga.
Kadang kita merasa kalau prestasi kita di sekolah bagus masa depan akan cerah, padahal tidak selalu begitu, karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan.
Kadang kita merasa kalau kita selalu bekerja keras siang malam akan lebih sukses dari yang bekerja biasa-biasa saja, padahal tidak selalu begitu. Yang bekerja cerdas walau terkesan santai seringkali bisa lebih sukses.
Kadang ada yang merasa karena saat ini rajin ibadah kita akan pasti khusnul khaotimah, padahal belum tentu, karena itu kita harus selalu menjaga diri dan konsisten sampai akhir hayat. Ingat, syetan akan selalu berusaha mencari kelemahan kita.
Intinya, selalu siaga atas segala kemungkinan, selalu mawas diri, selalu konsisten, jangan sampai lengah, karena kehidupan juga berputar seperti bola
Bola itu bulat! Segalanya bisa terjadi di sepak bola.
Ini adalah prinsip dasar yang banyak dipegang oleh hampir seluruh pelatih ataupun pemain sepakbola.
Mereka tahu dalam sepak bola banyak kejutan.
Banyak tim yang di atas kertas pasti menang tapi ternyata pulang duluan.
Seringkali tim yang diunggulkan tiba-tiba dikalahkan.
Tim yang diremehkan tiba-tiba muncul jadi pemenang.
Artinya dalam dunia bola semua mungkin terjadi, resiko kalah selalu mengancam, harapan selalu ada.
Seandainya saja kita bisa mengaplikasikan itu dalam kehidupan, mungkin kita akan jadi pemenang, setidaknya punya mental pemenang.
Kadang kita merasa kalau modal kita lebih besar kita akan menang persaingan, tapi kehidupan juga seperti sepak bola, yang modal kecil juga bisa menang.
Real Madrid yang beranggaran 420 juta Euro pertahun pernah dikalahkan oleh Alcorcon yang budgetnya 1,1 juat pertahun (Buku NO Excuse hlm 203).
Inggris yang berpengalaman hanya bisa imbang dengan Amerika di pertemuan pertama piala dunia 2010.
Ghana yang negara miskin bisa menggilas negera Eropa Serbia.
Jika kita percaya segala kemungkinan bisa terjadi maka kita tidak akan cepat puas, tidak akan menganggap enteng persaingan dan menyepelekan prestasi dalam kehidupan.
Kita tidak akan mudah sesumbar dan percaya diri tanpa persiapan.
Karena hidup juga seperti bola, jadi kita harus selalu siaga.
Kadang kita merasa kalau prestasi kita di sekolah bagus masa depan akan cerah, padahal tidak selalu begitu, karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan.
Kadang kita merasa kalau kita selalu bekerja keras siang malam akan lebih sukses dari yang bekerja biasa-biasa saja, padahal tidak selalu begitu. Yang bekerja cerdas walau terkesan santai seringkali bisa lebih sukses.
Kadang ada yang merasa karena saat ini rajin ibadah kita akan pasti khusnul khaotimah, padahal belum tentu, karena itu kita harus selalu menjaga diri dan konsisten sampai akhir hayat. Ingat, syetan akan selalu berusaha mencari kelemahan kita.
Intinya, selalu siaga atas segala kemungkinan, selalu mawas diri, selalu konsisten, jangan sampai lengah, karena kehidupan juga berputar seperti bola
Antara SKILL dan WILL
Menurut Anda mana yang akan membawa kita pada kesuksesan, kemampuan/keahlian atau kemauan?
Keahlian membuat kita tahu apa yang terbaik untuk dilakukan, tapi tanpa kemauan untuk memberikan yang terbaik, kita tidak curahkan seluruh kemampuan kita.
Sebaliknya kalau ada kemauan, sekalipun belum ada kemampuan maka kita akan mencari jalan, betapapun sulitnya sampai kita akhirnya bisa menjadi ahli.
Jadi jangan takut jika tidak punya kemampuan, selama masih punya kemauan untuk menjadi lebih baik, untuk belajar dan untuk meraih cita-cita kita, hingga bisa menjadi ahli di bidang apapun.
“Champions aren’t made in gyms. Champions are made from something they have deep inside them a desire, a dream, a vision. They have to have the skill and the will. But the will must be stronger than the skill.”
Pemenang tidak dibentuk di gym. Pemenang terbentuk dari dalam diri, dari impian, dari hasrat, dan visi. Mereka harus punya kemampuan dan kemauan. Tapi kemauan lebih kuat daripada kemampuan
Muhammad Ali
“So many of our dreams at first seems impossible, then they seem improbable, and then, when we summon the will, they soon become inevitable.”
Banyak sekali impian yang awalnya tidak mungkin bisa, lalu menjadi mungkin saja bisa, lalau ketika kita punya kemauan, maka menjadi pasti bisa.
- Christopher Reeve (Pemeran Superman I-IV)
Keahlian membuat kita tahu apa yang terbaik untuk dilakukan, tapi tanpa kemauan untuk memberikan yang terbaik, kita tidak curahkan seluruh kemampuan kita.
Sebaliknya kalau ada kemauan, sekalipun belum ada kemampuan maka kita akan mencari jalan, betapapun sulitnya sampai kita akhirnya bisa menjadi ahli.
Jadi jangan takut jika tidak punya kemampuan, selama masih punya kemauan untuk menjadi lebih baik, untuk belajar dan untuk meraih cita-cita kita, hingga bisa menjadi ahli di bidang apapun.
“Champions aren’t made in gyms. Champions are made from something they have deep inside them a desire, a dream, a vision. They have to have the skill and the will. But the will must be stronger than the skill.”
Pemenang tidak dibentuk di gym. Pemenang terbentuk dari dalam diri, dari impian, dari hasrat, dan visi. Mereka harus punya kemampuan dan kemauan. Tapi kemauan lebih kuat daripada kemampuan
Muhammad Ali
“So many of our dreams at first seems impossible, then they seem improbable, and then, when we summon the will, they soon become inevitable.”
Banyak sekali impian yang awalnya tidak mungkin bisa, lalu menjadi mungkin saja bisa, lalau ketika kita punya kemauan, maka menjadi pasti bisa.
- Christopher Reeve (Pemeran Superman I-IV)
Jumat, 30 April 2010
Antara Sahabat dan Cinta
kini bibirku tlah beku, tak mampu lagi berucap
mataku tlah terpejam, tak mampu lagi menatapmu
tak sediqitpun keberanianku tuk berhadap denganmu
kau bukan lagi sahabatku yg dulu
sadarkah, sgala yg tlah ku beri slama ni,,
smua itu ku lakukan karena kau sahabatku
namun kau tlah salah mengartikannya
kau fikir ini cinta?? kau salah!!
bagaikan seorang seniman besar
yang tlah berhasil menyelesaikan karya terindahnya
kau pamerkan semua ini pada orang sekitarmu
dengan paras kemenanganmu
kau paparkan bahwa aku mencintaimu
sadarlah,, ini hanyalah rasa persahabatan
bedakan antara sahabat dan cinta
aku hanya seorang teman
yang sekedar ingin menjadi sahabat terbaikmu
namun apa yang kau lakukan
kau hancurkan semua,,
sikap dinginmu yang sengaja kau tunjukkan
sebagai rasa protesmu akan cinta,,
cinta yang sebenarnya tak pernah ada
jauh dalam hatiku,, aku rindu akan dirimu yg dulu
mataku tlah terpejam, tak mampu lagi menatapmu
tak sediqitpun keberanianku tuk berhadap denganmu
kau bukan lagi sahabatku yg dulu
sadarkah, sgala yg tlah ku beri slama ni,,
smua itu ku lakukan karena kau sahabatku
namun kau tlah salah mengartikannya
kau fikir ini cinta?? kau salah!!
bagaikan seorang seniman besar
yang tlah berhasil menyelesaikan karya terindahnya
kau pamerkan semua ini pada orang sekitarmu
dengan paras kemenanganmu
kau paparkan bahwa aku mencintaimu
sadarlah,, ini hanyalah rasa persahabatan
bedakan antara sahabat dan cinta
aku hanya seorang teman
yang sekedar ingin menjadi sahabat terbaikmu
namun apa yang kau lakukan
kau hancurkan semua,,
sikap dinginmu yang sengaja kau tunjukkan
sebagai rasa protesmu akan cinta,,
cinta yang sebenarnya tak pernah ada
jauh dalam hatiku,, aku rindu akan dirimu yg dulu
INDRI
Indri masih diam memaku di depanku. Saya pun sesaat diam untuk memberi kesempatan ia berkata-kata. Atau minimal membiarkannya menghela napas dalam dengan rasa bebas. Tapi Indri tidak melakukan apa-apa. Tatapannya kosong, keningnya yang lapang semakin memperjelas kehampaan. Rambutnya yang sedikit ikal tersisir rapi dalam dua belahan ke belakang. Lalu Indri menunduk membenarkan baju ungu yang dikenakannya, kembali menatapku. Dan masih tanpa suara.
"Kartu Kesehatan kamu terpaksa dikembalikan oleh perusahaan," kata saya sekali lagi. "Kalau kamu masih berharap bahwa cuti kehamilanmu disetujui untuk mendapatkan biaya ganti, mestinya kamu mau mendengarkan saranku."
Indri hamil. Sebagaimana biasanya, setiap buruh wanita yang hamil akan mendapatkan uang dan kesempatan cuti hingga masa persalinannya. Ia sudah mengajukan sekitar dua minggu yang lalu, tetapi hari ini Kartu Kesehatan yang disertakan dalam pengajuan cutinya kembali. Alasannya, tidak tercantum nama suaminya.
"Saya harus mengisi siapa?" tanya Indri. Saya sudah menduga ia akan mempertanyakan hal itu. "Itulah maksud saya, sedikit direkayasa kan tidak apa-apa. Untuk sementara saja, daripada kamu malah tidak mendapatkan hakmu!" jawab saya, karena saya pikir itu akan ikut membantunya.
"Iya, saya tahu maksud Bapak. Saya harus mencatut sebuah nama agar saya bisa mendapat santunan, begitu kan?! Saya harus memanggilnya sebagai suami yang tidak pernah menikahi saya, semata-mata demi santunan itu?!" kata Indri setengah parau.
"He, bukan santunan! Itu hakmu sebagai buruh! Perusahaan berkewajiban memberikan uang untuk biaya kehamilanmu!" Saya mengingatkan. Bahkan saya katakan kepada Indri untuk tidak berterima kasih kepada perusahaan, karena memang sebaliknya, itu bentuk terima kasih dari perusahaan, bentuk perhatian. Dan sekali lagi hal itu adalah wajib hukumnya! Indri tidak perlu merasa disantuni atau dibantu, kalau nyatanya memang mampu, tetapi perusahaan tetap akan memberikan uang itu kepadanya.
"Makanya, karena ini hakmu, penuhi dulu syaratnya. Tidak sulit kan kalau hanya sekedar menuliskan sebuah nama laki-laki di sini. Okelah kalau lelaki itu belum menikahimu saat ini, tapi nantinya toh tetap akan menjadi suami." Saya menjelaskan lebih luas lagi, demi dia sendiri. "Kau pun sebenarnya agak keliru, kenapa terjadi hamil sebelum kalian menikah!"
"Saya tidak pernah menikah! Saya diperkosa! Dan saya tidak memiliki lelaki yang saya cintai!!" Indri menjerit, dan menangis.
"Kamu… diperkosa? Oleh siapa? Pacarmu?"
"Mereka bukan pacar saya! Saya tidak mencintai siapa pun!"
"Mereka? Artinya lebih dari seorang…." Tapi saya tak tega mempertanyakannya. Sudah cukup jelas, Indri diperkosa oleh lebih dari satu lelaki. Buru-buru, demi melihat penderitaannya, saya meminta Indri untuk datang kembali besok pagi sebelum saya pergi ke kantor pusat.
"Dia memang perempuan nakal, Pak! Biarkan saja, ia layak mendapatkan risikonya sendiri. Kita ikut susah, tapi kesia-siaan yang akan kita dapat," celetuk pembantu kantor saya.
Tapi saya membiarkan pendapatnya menguap di udara. Semestinya bagi saya untuk memperjuangkan haknya yang wajar dia dapatkan. Tidak ada yang istimewa. Soalnya adalah sebuah nama yang mesti saya tulis di Kartu Kesehatannya, siapa. Indri pun tak menyebut satu nama pun.
Sudah saya niatkan sore itu pergi menemui Indri, perempuan dengan rambut setengah ikal itu. Saya merasa perlu untuk mengetahui lebih jelas apa duduk persoalan sebenarnya. Jangan-jangan kehamilannya pun cuma akal-akalan, agar ia mendapat cuti hamil dan biaya ganti persalinannya. Buruh semacam Indri sangat mungkin melakukannya. Di samping malas, ia tidak berangkat kerja, tetapi tetap mendapatkan uang dari perusahaan.
Indri masih sangat muda. Usianya mungkin sekitar 20-an. Di kota ini, tidak sulit menemukan perempuan yang menikah pada usia muda. Kebanyakan ukuran bukan pada usia, tapi pada jaminan telah bekerja. Tidak apa menikah, asal sudah bekerja. Tapi mungkin perlu untuk memperhatikan ucapan pembantu kantor saya, siang tadi. Gadis seindah Indri, bukan tidak mungkin telah diperkosa sungguh-sungguh oleh karena, maaf, profesinya selain menjadi buruh. Indri seorang pekerja seks jugakah?
Kalau benar ia seorang pekerja seks pula, maka saya memang tak perlu susah payah mengupayakan cuti hamil dan biaya persalinannya. Biar saja orang akan mengatakan bahwa saya tidak memperhatikan anak buahnya. Saya lebih berprinsip, itu bagian dari proses pendidikan SDM di dalam pabrik. Kalau sudah niat bekerja, ya sebisa mungkin berjalan dengan lurus. Toh bisa semakin jelas apabila nanti ia diberi kepastian untuk memilih, kerja di pabrik atau keluar saja. Di tengah ribuan pekerja, apabila soal seperti itu dibiarkan, akan menjadi virus yang bisa menular. Buruh-buruh yang lain akan ikut-ikutan, karena merasa pihak perusahaan menutup mata.
Akhirnya, apa yang ingin saya katakan kepada pembantu kantor saya adalah citra. Ini yang penting. Saya ikut bertanggung jawab terhadap baik dan tercorengnya citra perusahaan. Oleh karena itulah saya ingin mendapatkan keterangan lebih jelas dan akurat mengenai Indri.
Dengan sedikit kikuk, Indri mempersilakan saya untuk masuk. Saya sudah bilang agar jangan menganggap saya sebagai atasannya di rumahnya. Tapi itu mungkin sulit baginya.
"Kapan kamu melahirkan?" tanyaku.
"Hari Sabtu. Berarti tiga hari yang lalu, Pak."
"Bagaimana, kau sehat saja?"
"Ya, seperti inilah. Bapak melihat sendiri."
Indri tersenyum, tersipu-sipu dengan sepasang bibir merah yang basah. Saya mencicipi minuman teh yang ia sajikan. Lalu saya menanyakan kembali soal cuti hamil yang dibahas di kantor. Indri kembali kelihatan serius.
"Ada apa?"
"Tidak, Pak. Saya hanya merasa jenuh kalau harus memikirkan hal itu lagi," jawabnya.
"Tapi itu sangat perlu. Apa kamu mau katakan siapa mereka yang telah memperkosamu sehingga kamu hamil?" Indri menggeleng. "Kenapa kau menutupi mereka? Mereka telah berbuat sangat jahat kepadamu!"
"Saya hanya tidak ingin menanggung penderitaan lagi setelah musibah ini, Pak."
Baiklah. Saya menanyakan bagaimana keluarganya atau saudaranya. Saya mendapat ide, agar nama suami di Kartu Kesehatan yang masih kosong itu diisi nama salah seorang familinya. Bisa pamannya atau kakaknya atau siapa pun. Yang penting ada perjajian sebelumnya, bahwa setelah dana turun nama itu dilepas. Saya tidak tahu apakah itu sudah menyalahi aturan atau tidak. Tapi kalau di antara mereka saling percaya, saya kira persoalan tidak menjadi sulit.
Tapi Indri tidak mau. Ia bilang bahwa ia sudah malu dengan keluarga, sehingga sudah buntu untuk minta tolong. Keluarganya tidak ingin ikut cemar gara-gara dia, kata Indri.
Siang yang lain saya masih menunggu Indri di kantor. Tetapi ia tidak muncul juga, sehingga saya terpaksa harus tetap pergi ke pusat tanpa ada kejelasan sikapnya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak sekedar memberikan Kartu Kesehatan, tetapi dengan penjelasan bahwa bagaimana pun Indri tetap berhak atas uang cuti persalinannya.
"Sebagai pribadi, saya sebetulnya kasihan. Tapi keputusan perusahaan yang tetap memberikan uang cuti hamil kepada buruh yang hamil tanpa suami? Apa kata dunia?!" kata manajer personalia kepada saya. Saya sudah menyadari hal itu, pikir saya. Lalu saya disuruh meninggalkan ruangannya tanpa mendapat kejelasan nasib Kartu Kesehatan Indri. "Lihat nanti sajalah!" katanya.
Sore yang lain lagi, saya kembali mendatangi rumah Indri. Kedatangan saya disambut tangis bayinya. Saya pun memberanikan diri untuk menggendongnya. "Indri, kalau boleh, biarkan anak ini menjadi anak saya. Belum terlalu tua aku punya bayi, kan?"
Indri menangis terharu. "Segeralah kamu cari pacar, dan kawin," kata saya lagi. "Lupakan masa lalu ini." ***
"Kartu Kesehatan kamu terpaksa dikembalikan oleh perusahaan," kata saya sekali lagi. "Kalau kamu masih berharap bahwa cuti kehamilanmu disetujui untuk mendapatkan biaya ganti, mestinya kamu mau mendengarkan saranku."
Indri hamil. Sebagaimana biasanya, setiap buruh wanita yang hamil akan mendapatkan uang dan kesempatan cuti hingga masa persalinannya. Ia sudah mengajukan sekitar dua minggu yang lalu, tetapi hari ini Kartu Kesehatan yang disertakan dalam pengajuan cutinya kembali. Alasannya, tidak tercantum nama suaminya.
"Saya harus mengisi siapa?" tanya Indri. Saya sudah menduga ia akan mempertanyakan hal itu. "Itulah maksud saya, sedikit direkayasa kan tidak apa-apa. Untuk sementara saja, daripada kamu malah tidak mendapatkan hakmu!" jawab saya, karena saya pikir itu akan ikut membantunya.
"Iya, saya tahu maksud Bapak. Saya harus mencatut sebuah nama agar saya bisa mendapat santunan, begitu kan?! Saya harus memanggilnya sebagai suami yang tidak pernah menikahi saya, semata-mata demi santunan itu?!" kata Indri setengah parau.
"He, bukan santunan! Itu hakmu sebagai buruh! Perusahaan berkewajiban memberikan uang untuk biaya kehamilanmu!" Saya mengingatkan. Bahkan saya katakan kepada Indri untuk tidak berterima kasih kepada perusahaan, karena memang sebaliknya, itu bentuk terima kasih dari perusahaan, bentuk perhatian. Dan sekali lagi hal itu adalah wajib hukumnya! Indri tidak perlu merasa disantuni atau dibantu, kalau nyatanya memang mampu, tetapi perusahaan tetap akan memberikan uang itu kepadanya.
"Makanya, karena ini hakmu, penuhi dulu syaratnya. Tidak sulit kan kalau hanya sekedar menuliskan sebuah nama laki-laki di sini. Okelah kalau lelaki itu belum menikahimu saat ini, tapi nantinya toh tetap akan menjadi suami." Saya menjelaskan lebih luas lagi, demi dia sendiri. "Kau pun sebenarnya agak keliru, kenapa terjadi hamil sebelum kalian menikah!"
"Saya tidak pernah menikah! Saya diperkosa! Dan saya tidak memiliki lelaki yang saya cintai!!" Indri menjerit, dan menangis.
"Kamu… diperkosa? Oleh siapa? Pacarmu?"
"Mereka bukan pacar saya! Saya tidak mencintai siapa pun!"
"Mereka? Artinya lebih dari seorang…." Tapi saya tak tega mempertanyakannya. Sudah cukup jelas, Indri diperkosa oleh lebih dari satu lelaki. Buru-buru, demi melihat penderitaannya, saya meminta Indri untuk datang kembali besok pagi sebelum saya pergi ke kantor pusat.
"Dia memang perempuan nakal, Pak! Biarkan saja, ia layak mendapatkan risikonya sendiri. Kita ikut susah, tapi kesia-siaan yang akan kita dapat," celetuk pembantu kantor saya.
Tapi saya membiarkan pendapatnya menguap di udara. Semestinya bagi saya untuk memperjuangkan haknya yang wajar dia dapatkan. Tidak ada yang istimewa. Soalnya adalah sebuah nama yang mesti saya tulis di Kartu Kesehatannya, siapa. Indri pun tak menyebut satu nama pun.
Sudah saya niatkan sore itu pergi menemui Indri, perempuan dengan rambut setengah ikal itu. Saya merasa perlu untuk mengetahui lebih jelas apa duduk persoalan sebenarnya. Jangan-jangan kehamilannya pun cuma akal-akalan, agar ia mendapat cuti hamil dan biaya ganti persalinannya. Buruh semacam Indri sangat mungkin melakukannya. Di samping malas, ia tidak berangkat kerja, tetapi tetap mendapatkan uang dari perusahaan.
Indri masih sangat muda. Usianya mungkin sekitar 20-an. Di kota ini, tidak sulit menemukan perempuan yang menikah pada usia muda. Kebanyakan ukuran bukan pada usia, tapi pada jaminan telah bekerja. Tidak apa menikah, asal sudah bekerja. Tapi mungkin perlu untuk memperhatikan ucapan pembantu kantor saya, siang tadi. Gadis seindah Indri, bukan tidak mungkin telah diperkosa sungguh-sungguh oleh karena, maaf, profesinya selain menjadi buruh. Indri seorang pekerja seks jugakah?
Kalau benar ia seorang pekerja seks pula, maka saya memang tak perlu susah payah mengupayakan cuti hamil dan biaya persalinannya. Biar saja orang akan mengatakan bahwa saya tidak memperhatikan anak buahnya. Saya lebih berprinsip, itu bagian dari proses pendidikan SDM di dalam pabrik. Kalau sudah niat bekerja, ya sebisa mungkin berjalan dengan lurus. Toh bisa semakin jelas apabila nanti ia diberi kepastian untuk memilih, kerja di pabrik atau keluar saja. Di tengah ribuan pekerja, apabila soal seperti itu dibiarkan, akan menjadi virus yang bisa menular. Buruh-buruh yang lain akan ikut-ikutan, karena merasa pihak perusahaan menutup mata.
Akhirnya, apa yang ingin saya katakan kepada pembantu kantor saya adalah citra. Ini yang penting. Saya ikut bertanggung jawab terhadap baik dan tercorengnya citra perusahaan. Oleh karena itulah saya ingin mendapatkan keterangan lebih jelas dan akurat mengenai Indri.
Dengan sedikit kikuk, Indri mempersilakan saya untuk masuk. Saya sudah bilang agar jangan menganggap saya sebagai atasannya di rumahnya. Tapi itu mungkin sulit baginya.
"Kapan kamu melahirkan?" tanyaku.
"Hari Sabtu. Berarti tiga hari yang lalu, Pak."
"Bagaimana, kau sehat saja?"
"Ya, seperti inilah. Bapak melihat sendiri."
Indri tersenyum, tersipu-sipu dengan sepasang bibir merah yang basah. Saya mencicipi minuman teh yang ia sajikan. Lalu saya menanyakan kembali soal cuti hamil yang dibahas di kantor. Indri kembali kelihatan serius.
"Ada apa?"
"Tidak, Pak. Saya hanya merasa jenuh kalau harus memikirkan hal itu lagi," jawabnya.
"Tapi itu sangat perlu. Apa kamu mau katakan siapa mereka yang telah memperkosamu sehingga kamu hamil?" Indri menggeleng. "Kenapa kau menutupi mereka? Mereka telah berbuat sangat jahat kepadamu!"
"Saya hanya tidak ingin menanggung penderitaan lagi setelah musibah ini, Pak."
Baiklah. Saya menanyakan bagaimana keluarganya atau saudaranya. Saya mendapat ide, agar nama suami di Kartu Kesehatan yang masih kosong itu diisi nama salah seorang familinya. Bisa pamannya atau kakaknya atau siapa pun. Yang penting ada perjajian sebelumnya, bahwa setelah dana turun nama itu dilepas. Saya tidak tahu apakah itu sudah menyalahi aturan atau tidak. Tapi kalau di antara mereka saling percaya, saya kira persoalan tidak menjadi sulit.
Tapi Indri tidak mau. Ia bilang bahwa ia sudah malu dengan keluarga, sehingga sudah buntu untuk minta tolong. Keluarganya tidak ingin ikut cemar gara-gara dia, kata Indri.
Siang yang lain saya masih menunggu Indri di kantor. Tetapi ia tidak muncul juga, sehingga saya terpaksa harus tetap pergi ke pusat tanpa ada kejelasan sikapnya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak sekedar memberikan Kartu Kesehatan, tetapi dengan penjelasan bahwa bagaimana pun Indri tetap berhak atas uang cuti persalinannya.
"Sebagai pribadi, saya sebetulnya kasihan. Tapi keputusan perusahaan yang tetap memberikan uang cuti hamil kepada buruh yang hamil tanpa suami? Apa kata dunia?!" kata manajer personalia kepada saya. Saya sudah menyadari hal itu, pikir saya. Lalu saya disuruh meninggalkan ruangannya tanpa mendapat kejelasan nasib Kartu Kesehatan Indri. "Lihat nanti sajalah!" katanya.
Sore yang lain lagi, saya kembali mendatangi rumah Indri. Kedatangan saya disambut tangis bayinya. Saya pun memberanikan diri untuk menggendongnya. "Indri, kalau boleh, biarkan anak ini menjadi anak saya. Belum terlalu tua aku punya bayi, kan?"
Indri menangis terharu. "Segeralah kamu cari pacar, dan kawin," kata saya lagi. "Lupakan masa lalu ini." ***
Malam-malam Nina
Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.
Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.
Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.
Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.
Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.
Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.
Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.
Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.
Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.
"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.
Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.
"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.
Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.
Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?
Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?
Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.
Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.
Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.
"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.
"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.
Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.
Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.
Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.
Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.
"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.
"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.
"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.
Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.
Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.
"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.
Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.
"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."
Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.
Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.
"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.
"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.
"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.
Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.
Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.
"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?
"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.
Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."
"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"
Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.
Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.
"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.
Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.
"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.
Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!
Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.
Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.
Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…
"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.
Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"
"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"
Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?
Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.
Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.
Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu. ***
Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.
Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.
Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.
Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.
Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.
Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.
Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.
Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.
"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.
Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.
"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.
Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.
Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?
Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?
Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.
Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.
Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.
"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.
"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.
Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.
Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.
Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.
Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.
"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.
"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.
"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.
Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.
Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.
"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.
Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.
"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."
Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.
Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.
"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.
"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.
"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.
Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.
Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.
"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?
"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.
Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."
"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"
Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.
Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.
"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.
Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.
"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.
Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!
Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.
Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.
Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…
"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.
Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"
"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"
Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?
Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.
Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.
Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu. ***
Senin, 12 April 2010
Kamis, 01 April 2010
Menyalakan Cinta
Apa sesungguhnya yang mendorong kita saling berkelahi. Ini gejala yang cukup aneh,perkelahian agaknya diminati banyak pihak. Justru semakin tua umur kita dan semakin matang,kita juga semakin bersemangat untuk bertengkar,berantem,dan membunuh. Boleh dikata seluruh lapisan sosial dari berbagai macam profesi,seperti sedang bertekad bulat untuk saling melancarkan perkelahian. Apakah kita sedang tidak enak badan,disergap flu,stress,depresi,kena demam berdarah,atau disengat malaria,sehingga kita panas dingin tidak lagi mampu menguasai emosi. Apakah kita sedang dilanda udara panas kota besar yang kotor. Sehingga kita terimbas pencemaran. Mengapa daya tahan seorang yang kaya, yang miskin, yang kuat, yang lemah, sekarang ini sama-sama rentannya terhadap perkelahian. Pertengkaran, perkelahian, dan pembunuhan hanya terjadi jika sesuatu yang diperebutkan barangkali bermula karena tersinggung, yang lantas membuat marah, lalu harus melakukan pembalasan dendam.
Kita tidak mengakui bahwa perkelahian timbul dari sanubari kita sendiri. Bukan disebabkan faktor luar. Perkelahian secara fisik dan mental di lapisan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan, dewasa ini boleh dikatakan marak. Sampai-sampai nyawa terengut, mencapai lebih dari sepuluh, diantaranya tenaga-tenaga istimewa. Sedangkan orang-orang awam, termasuk ibu-ibu dan gadis-gadis kecil yang tak tahu menahu, hanya karena sedang naik bus yang sedang diincar, menjadi korban teror juga kaca-kaca jendela kendaraan umum berantakkan. Rasanya seluruh biaya pendidikan yang menghasilkan kecerdasan, kedisiplinan, kepatuhan, dan kesabaran sekarang ini berantakkan,musnah entah dibawa angin kemana.
Kita tidak mengakui bahwa perkelahian timbul dari sanubari kita sendiri. Bukan disebabkan faktor luar. Perkelahian secara fisik dan mental di lapisan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan, dewasa ini boleh dikatakan marak. Sampai-sampai nyawa terengut, mencapai lebih dari sepuluh, diantaranya tenaga-tenaga istimewa. Sedangkan orang-orang awam, termasuk ibu-ibu dan gadis-gadis kecil yang tak tahu menahu, hanya karena sedang naik bus yang sedang diincar, menjadi korban teror juga kaca-kaca jendela kendaraan umum berantakkan. Rasanya seluruh biaya pendidikan yang menghasilkan kecerdasan, kedisiplinan, kepatuhan, dan kesabaran sekarang ini berantakkan,musnah entah dibawa angin kemana.
Batas Kekuatan dan Ajal
Kekuatan ada batasnya dan ajal menghentikan sejarah. Itu kata-kata Kiai Muhammad Syukur untuk mengingatkan tentang dua hal yang amat pokok yang merupakan bekal kita dalam mengarungi hidup sehari-hari,ketika memasuki tahun 2010. Banyak orang yang tak sadar akan batas kekuatan tenaga maupun pikirannya dan banyak orang lupa bahwa sewaktu-waktu nyawa kita dicabut Tuhan. Lalu kita berlenggang sebagai Supermen,kemudian sebuah serangan jantung menghentikan segalanya. Juga banyak orang yang menenggak pil ecstasy untuk memperpanjang dan memperkokoh daya tahan,sambil melupakan bahwa kekuatan ada batasnya.
Jumat, 26 Maret 2010
Anak Belajar Dari Kehidupannya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan.Ia belajar memaki.Jika anak dibesarkan dengan permusuhan.Ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan. Ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,Ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi,Ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan,Ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,Ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,Ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan,Ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Sabtu, 20 Februari 2010
Tips Mengajari Anak Meminta Maaf
Meminta maaf kepada teman setelah melakukan kesalahan ini perlu diketahui oleh orang tua sejak dini agar jangan sampai si anak menjadi besar kepala dan tidak mau minta maaf kepada temannya. Memang mendidik anak bukanlah merupakan perkara yang mudah. Ibarat layang-layang,terbang dikekang dia tidak bisa terbang tapi saat diulur atau dilepaskan malah melayang tinggi dan tak kembali lagi. Diperlukan kesabaran kita sebagai orang tua untuk senantiasa mau membuka fikiran dan hati sehingga ilmu bagaimana cara mendidik anak tidak hanya mentah-mentah diambil dari pola didik orang tua jaman dulu.
1. Beri kesempatan pada anak untuk mengungkapkan masalahnya.
Galilah dari diri anak apa yg membuatnya tidak mau/menolak meminta maaf. Baik orangtua maupun guru harus bersikap netral,tidak berpihak kepada pelaku ataupun korban. Jika berpihak dikhawatirkan pemulihan hubungan keduanya akan semakin sulit.
2. Tidak memaksa anak meminta maaf.
Sering dijumpai orangtua yang memaksa anaknya untuk minta maaf,sebetulnya,cara seperti ini tidak benar dan dapat menekan anak. Semakin dipaksa untuk meminta maaf,semakin sulit bagi anak untuk melakukannya. Karena paksaan merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan maka hal itu tidak akan diulanginya lagi. Atau kalaupun mau,anak akan meminta maaf dengan terpaksa, tidak tulus.
3. Berikan dorongan.
Contoh,"Ibu akan senang kalau kamu mendengarkan keluhan orang lain dan kamu mau mengubah prilakumu. Ibu berharap kamu juga bisa meminta maaf atas perbuatan yang sudah kamu lakukan pada temanmu."Harapan semacam ini tidak memberi kesan memaksa dan sok berkuasa,melainkan mengajari anak untuk bersikap terbuka dan membuatnya berfikir. Apalagi di usia ini anak sudah bisa diajak berfikir mengenai konsekuensi.
4. Beri toleransi waktu.
Hindari menyuruh anak meminta maaf di saat itu juga. Orang tua memang harus menunggu hingga anak mau melakukannya dengan tulus tanpa terpaksa. Selanjutnya,jika anak sudah siap,orang tua bisa menjadi perantara,membantu anak untuk meminta maaf dan mendamaikan kedua anak yang berseteru.
5. Kenalkan aneka cara meminta maaf.
Ada berbagai cara meminta maaf,baik secara langsung atau tidak. Ada yangm lewat salaman tangan,rangkulan,sentuhan dan cara lainnya,atau yang terbaru dengan SMS,e-mail, chat,komentar dll.
6. Tumbuhkan empati pada anak.
Cara terbaik dengan menumbuhkan empatinya. "kamu sudah memukul adik seperti itu.Coba,kamu pikirkan kalau kamu yang diperlakukan seperti itu,bagaimana rasanya ?" mungkin anak tidak akan langsung menjawab atau berkomentar saat itu juga dengan mengatakan,"tidak enak,"misalnya. Tapi setidaknya anak tahu,perbuatannya telah membuat orang lain menderita,terganggu,atau tersakiti. Anda harus bisa memahami ,perbuatannya itu tidak baik. Dia juga harus merasakan apa yang orang lain rasakan.
Doa ku
"Ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu, dan kepada Mu aku menyerahkan diri. Ya Allah, mudahkanlah kesulitanku dan gampangkanlah kesukaran perjalananku, berilah kepadaku rezeki yang baik dan lebih banyak daripada apa yang aku minta. Hindarkanlah dariku segala keburukkan. Ya Tuhanku,lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah segala urusanku. Ya Allah, aku memohon pemeliharaan-Mu dan aku titipkan diriku kepada-Mu agamaku,keluargaku,kerabatku,dan semua yang Engkau kurniakan kepadaku dan kepada mereka dari perkara akhirat dan dunia. Peliharalah kami semua dari keburukan,Ya Allah Yang Maha mulia.
Sabtu, 13 Februari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)